Sejarah Desa

Beberapa versi cerita yang berkembang di tengah masyarakat tentang sejarah berdirinya Desa Jembayat

about image

Salah satunya menyebutkan bahwa wilayah ini merupakan suatu desa yang subur, di penuhi pepohonan dan tanaman – tanaman yang menghijau, bentangan sungai yang mengelilingi pemukiman dan area perkebunan liar, berbatasan dengan hutan disebelah selatan, barat, utara dan timur. Hiduplah kelompok masyarakat yang bersahaja, pekerja keras dan gemar bercocok tanam, konon, hiduplah pula Ratu Jembowati yang ditokohkan oleh penduduk setempat, kemudian perkampungan tersebut lebih dikenal sebagai Desa Jembowati.

Pada era pra kemerdekaan, Desa Jembowati yang merupakan bagian dari wilayah “Tegalan” yang kemudian dikenal dengan Tegal, adalah kawasan Perdikan “Merdeka”, tidak termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit disebelah timur dan Kerajaan Pajajaran di sebelah barat.

Desa Jembowati yang diampu oleh tokoh kharismatik Ratu Jembowati, ketika itu singgah dan bermukim pula Raden Tembayat.

Penduduk setempat sangat menghormatinya. Raden Tembayat adalah kepala rombongan kerajaan utusan dari Raja Brawijawa penguasa Kerajaan Majapahit yang hendak menuju Pajajaran di era Prabu Siliwangi. Dapat disimpulkan bahwa desa ini merupakan tempat persinggahan diantara hubungan kedua kerajaan besar tersebut, sehingga dua nama tokoh Ratu Jembowati dan Raden Tembayat sangat membekas dan tertanam dalam benak penduduk setempat oleh karena perannya atas perubahan dan pembangunannya kala itu.

Dalam masa perkembangannya, dipercaya oleh masyarakat, telah singgah dan menetap beberapa tokoh besar. Syeh Maulana Maghribi yang menanamkan dasar–dasar keyakinan agama dan konsep dan ajaran agama Islam, diyakini petilasannya terdapat di lingkungan Mesjid Al Istqomah Desa Jembayat. Ada pula bersinggah dan menetap seorang ksatria bernama Syeh Komarudin yang telah menanamkan dasar–dasar perjuangan dan kecintaan terhadap negara. Beliau dimakamkan di TPU Dukuh Bukasari Desa Jembayat. Tokoh lain yang singgah dan menetap adalah Syeikhina Ahmad Rifai yang lebih dikenal oleh penduduk setempat dengan nama Mbah Surung Dayung.

Beliau menanamkan dasar–dasar perjuangan hidup dan kerja keras kepada masyarakat. Makamnya terletak di TPU Surung Dayung Dukuh Bodong Desa Jembayat.

Di Era Kerajaan Mataram (islam), Ki Gede Sebayu yang ditugaskan oleh kerajaan untuk membuka tanah Perdikan Tegalan (Tegal) menjadi suatu daerah perkampungan dan kemudian lahir sebuah pemerintahan dibawah naungan kerajaan. Desa Jembowati yang sebelumnya sudah perpenghuni pun bergabung menjadi sebuah kesatuan budaya dan kehidupan dalam bermasyarakat dalam tatanan baru yang disusun Ki Gede Sebayu.

Perkembangan selanjutnya, ketika pecah Perang Diponegoro di Jawa, meski jauh dari jangkauan hirarkis pergerakan pra-kemerdekaan, Desa Jembowati telah menjadi sebuah desa dengan masyarakatnya yang kaya akan ragam kebudayaan yang membentuk karakter masyarakat setempat. Karakter masyarakat yang pekerja keras, pejuang, taat beragama, suka bergotong royong.

Desa yang terletak di kaki Gunung Slamet sebelah barat laut ini dikelilingi oleh area hutan dan sungai yang membentang. Untuk menjangkau daerah pemukiman penduduk tersebut, pihak Kerajaan Mataram di era Ki Gede Sebayu banyak membangun jembatan sebagai akses penghubung ekonomi dan sosial dengan desa–desa tetangga. Karakter Ratu Jembowati dan Raden Tembayat yang sangat kuat dan melekat menjadi legenda masyarakat desa, sehingga pada perkembangannya nama Ratu Jembowati dan Raden Tembayat di abadikan menjadi Nama Desa JEMBAYAT.